“Mereka mengobati luka umat-Ku dengan memandangnya ringan, katanya: Damai sejahtera! Damai sejahtera!, tetapi tidak ada damai sejahtera. Seharusnya mereka merasa malu, sebab mereka melakukan kejijikan; tetapi mereka sama sekali tidak merasa malu dan tidak kenal noda mereka (Yeremia 6:14-15a)
Sebagai orang yang sedang bertumbuh, kita semua pasti merasakan adanya luka. Bisa terluka sejak kita masih sangat muda, bahkan sebelum dilahirkan.Bisa kita terluka, bukan dari orang asing dan jauh, namun justru oleh orang-orang yang terdekat dengan kita. Apa dan bagaimana kita mengatasi luka tersebut?
Mematikan perasaan adalah salah satu cara untuk mengatasi rasa sakit. Lukanya masih ada, bahkan mungkin terinfeksi, namun kita menolak merasakannya. Para nabi palsu menolong orang Israel untuk mematikan rasa menderita, dan Allah menegur dengan keras. “Damai sejahtera! Damai sejahtera!, tetapi tidak ada damai sejahtera”, kata Allah melalui Nabi-Nya, Yeremia. Alih-alih membongkar luka yang ada, agar bisa terasa dan bisa dibereskan, para nabi palsu ini hanya menaruh pembalut seadanya untuk menutupi sesuatu yang telah rusak.
Sangat mudah untuk memasang pembalut seperti itu untuk menutupi rasa sakit kita. Semakin sakit, semakin banyak pembalut yang kita pasang untuk mengurangi rasa sakitnya. Pembalut itu bisa berupa minum-minum alkohol, menonton, pornografi, belanja atau wisata kuliner. Ini semua adalah cara kita untuk memasang topeng dan menutupi luka itu fungsinya adalah untuk menolong kita melepaskan diri dari kenyataan yang menyakitkan. Kegiatan itu bisa menolong kita untuk tidak memikirkan rasa sakit, atau berkonsentrasi pada hal-hal yang terasa menyenangkan. Ini adalah barang-barang yang menolong kita untuk tidak merasakan apapun yang tidak menyenangkan. Ini adalah hal-hal yang berbisik “damai, damai”, walaupun sebenarnya sedang hancur-hancuran.
Berhenti dan berpikir sejenak tentang apa yang kita jadikan sebagai pembalut luka. Apa yang kita gunakan untuk melarikan diri dari kenyataan yang pahit? Apakah kita sedang mengobati diri sendiri supaya terhindar dari merasakan luka-luka ini? Kita semua pasti pernah bersalah dengan kegiatan seperti ini.
Kebenarannya, Yesus menawarkan sebuah cara yang lebih baik. Ia juga pernah terluka, dan luka-lukanya adalah pembebasan dan pemulihan bagi kita, ”…ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh (Yesaya 53:5). Ini bukanlah damai dan sukacita palsu seperti yang ditawarkan para nabi palsu; obat-obatan yang hanya menolong dengan cara yang tidak benar dan kalau pun terasa menguntungkan, hanya untuk sementara saja. Inilah pemulihan yang sejati.
Tentu kita tidak sekedar bicara tentang luka secara fisik, namun luka-luka secara emosi dan rohani, yang terjadi dalam dunia yang berdosa: kesakitan karena rumah tangga yang berantakan, hubungan yang rusak, perasaan tidak aman, pengkhianatan, kebencian, kegagalan, baik secara pekerjaan, hubungan maupun seksualitas. Daftarnya bisa sangat panjang, dan sulit bagi kita untuk berbagi tentang hal-hal ini, sehingga kita berusaha untuk menghindari hal-hal semacam ini.
Yesus menolong kita sehingga kita tidak perlu lagi menghindari pemberesan rasa sakit. Kita tidak perlu mematikan rasa kita. Kita tidak perlu mencari jalan pelarian dari rasa sakit. Alih-alih mematikan perasaan, kita dapat terbuka dan jujur tentang luka-luka kita. Kita mengakui keberadaan luka itu dan apa dampaknya dalam hidup kita. Dan ketika kita mengakuinya, kita juga mengijinkan agar Tabib yang Agung itu dapat memulihkannya. Bahkan, keberadaan luka-luka itu bisa menjadi sarana bagi kita untuk menyadari kelemahan dan ketidakmampuan kita, dan menolong kita untuk datang ke hadirat-Nya tiap-tiap hari.
Alih-alih mencoba menutupi luka, biarkan keberadaan rasa sakit membuat kita begitu membutuhkan seorang Pribadi, yang telah rela dikhianati, disiksa, diperlakukan tidak adil, diremukkan dan ditinggalkan begitu saja. Mempercayai karena kita ada di dalam-Nya, kita juga ada di dalam penderitaan-Nya, bahkan kematian-Nya, namun kita juga ada dalam bilur-bilur-Nya yang menyembuhkan, dan kebangkitan-Nya yang menghidupkan. Orang percaya masih bisa dan akan terus mengalami dan merasakan luka, namun itu bukan alasan untuk melarikan diri dari rasa sakitnya. Kita justru belajar untuk merelakan pengalaman terluka terjadi, merelakan rasa sakitnya bersama kita, dan yang terpenting melibatkan Allah untuk memulihkan dan mengangkat kita. Kita bisa datang pada-Nya dan membawa beban-beban kita dan mengalami kelepasan: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu (Matius 11:28).
Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?
Jika Anda sekarang sedang terluka, dan terbiasa untuk mematikan perasaan sakitnya, sekarang ambil waktu untuk datang pada Yesus. Lepaskan kebiasaan mematikan perasaan. Lepaskan kebiasaan mengeraskan hati. Lepaskan kebiasaan berpura-pura tidak ada masalah. Jadikan ini kesempatan untuk berdoa dan membaca Firman, sebagai bagian membangun hubungan dengan Allah. Ijinkan kemarahan, kekecewaan dan kesedihan keluar, tidak perlu disimpan – Allah menghitung dan menghargainya. Dan ketika kita merasa begitu lemah, sampai tidak ada harapan dan kekuatan untuk maju lagi, ingatlah, kelemahan kita adalah tempat yang sempurna untuk kasih karunia Allah. Berpegang pada kebenaran bahwa Allah penuh kasih dan menerima kita dalam segala kelemahan adalah juga Allah yang penuh kuasa yang memegang kendali atas segala kehidupan kita. Bersama Paulus kita berkata,
“Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2 Korintus 8:9-10).